52 Persen Pekerja Indonesia Tak Sesuai Kualifikasi
52 Persen Pekerja Indonesia Tak Sesuai Kualifikasi
Kamar Dagang dan Industri atau Kadin Indonesia menyebut mayoritas pekerja Indonesia yang diserap berada di bawah kualifikasi. Angkanya mencapai 52 persen dari total tenaga kerja di dalam negeri.
Salah satu Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia Sabda Putera Subekti mengungkap hal tersebut. Ini sekaligus berkaitan dengan tingkat kepuasan industri terhadap serapan tenaga kerja.
"Yang paling penting yang kita rasakan di industri ya, 52 persen pekerja di Indonesia itu underqualified (di bawah kualifikasi)," ujarnya dalam Rapat Panja Perguruan Tinggi Komisi X dengan Kadin Indonesia dan HIPMI, Selasa (17/1/2023).
"Jadi bukan hanya tingkat serapan sarjananya saja yang kita cermati, tapi juga yang terserap pun, tingkat kepuasan industri terhadap sarjana itu belum mencapai tingkat kepuasan tertentu, belum sesuai harapan," sambung pria yang menjabat Chief Education Officer Zenius itu.
Sabda menyebut, kondisi tersebut yang kemudian secara tak langsung perlu diserap industri sebagai langkah penyerapan tenaga kerja. Dia lantas membeberkan sejumlah faktor yang mempengaruhi besarnya porsi tersebut.
Pertama, adalah minimnya masukan terhadap kurikulum dalam pendidikan yang dijalankan. Menurutnya ini jadi tanggung jawab semua pihak termasuk pelaku industri dan akademisi.
Sabda mengaku, setelah menjajaki para bidang sumber daya manusia (SDM) di industri, ada ketidakcocokan antara kebutuhan industri dan lulusan sekolah dan perguruan tinggi. Namun, posisinya bukan pada kemampuan teknikal.
"Apa masalahnya? bukan masalah technical skills saja, tapi yang sering saya dengar, bahwa yang kekurangan itu bukan teknikal skills langsung, tapi soft skill atau fundamental skills," ungkapnya.
Faktor-Faktor
Dia mencontohkan, maksudnya adalah kemampuan berpikir calon pekerja. Sebagai contoh, rendahnya pola berpikir secara saintifik atau etos kerja yang dinilai kurang.
"Kalau pengalaman saya dadlam perekrutan, misalnya, oke bisa (aplikasi) excel, menguasai alat, iya. Tapi mengambil data yang tepat, memilih data yang tepat, memfilter data yang tepat, begitu. Menguasai bahaasa programming-nya oke, tapi meracik software dengan bagus, itu yang kurang," kata dia mengisahkan.
Kedua, Sabda melihat adanya perkembangan industri yang lebih cepat ketimbang kurikulum di dunia pendidikan. Sehingga penyerapan tenaga kerja lagi-lagi tidak sesuai dengan perkembangan industri.
Ketiga, terbatasnya akses mahasiswa ke dunia kerja. Menurutnya, ini berangkat dari masih banyaknya praktik dan anggapan dimana mahasiswa masih dibekali teori semata. Padahal, untuk masuk ke dunia kerja, diperlukan aplikasi dari teori-teori yang dipelajari.
"Syukurnya sekarang sudah ada (program) Kampus Merdeka yang memungkinkan mahasiswa ini lebih panjang (mengenal dunia kerja lewat magang). Tadinya memang ada program magang tapi kan memang rpogram magang ini prakteknya cuma 2 bulan di perusahaan, maaf-maaf tapi bisa apa dalam 2 bulan ini?," kata dia.
"Kadang kitanya sendiri dari industri harus menyiapkan onboarding-nya aja mungkin sebulan lebih. Nah ini sudah mulai ada tapi skalanya mungkin yang masih kurang banyak," tambah Sabda.
Keempat, keterkaitan yang tidak pasti antara kepentingan kerja dan kesempatan kerja. Sabda menyebut kalau hal ini yang jadi ketidaksesuaian atau mismatch antara rancangan program pendidikan dan dunia kerja.
Penulis : Arief Rahman Hakim