Lapangan Kerja Terbatas, Mahasiswa Wajib Punya Keterampilan Khusus
Lapangan Kerja Terbatas, Mahasiswa Wajib Punya Keterampilan Khusus
Jakarta Pengusaha dalam Kamar Dagang dan Industri atau Kadin Indonesia meminta universitas membekali kemampuan pada mahasiswanya. Mengingat, peluang atau lowongan kerja di sektor formal yang terbatas.
Hal ini diungkap Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Ketenagakerjaan Adi Mahfudz Wuhadji. Dia meminta pemerintah, termasuk perguruan tinggi agar membekali mahasiswa dengan kemampuan dasar.
Adi menyampaikan kemampuan dasar ini yang kerap luput dalam pembekalan mahasiswa diluar dari kemampuan teknikal sesuai dengan jurusan kuliahnya. Sebagai contoh, kemampuan dalam berperilaku untuk memanfaatkan skill yang dimiliki.
"Anak-anak kita itu siap latih, bukan siap kerja. Nah ini, persepsi itulah yang harusnya kita bangun bersama. Makanha perlu kita ketahui bersama kenapa adik-adik banyak nganggur karena orientasinya hanya diklasifikasi usaha besar-menengah yang jumlahnya hanya 29 ribu saja," kata dia dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Panja Komisi X DPR RI, Selasa (17/1/2023).
Dengan minimnya pembukaan kerja di sektor formal itu, kata dia, maka diperlukan kemampuan khusus mahasiswa. Di sisi lain, mahasiswa yang akan lulus pun diharapkan bisa menyasar ke sektor-sektor yang lebih luas.
Dalam hal ini adalah sektor UMKM sebagai penggerak ekonomi nasional. Disana, punya peluang penyerapan kerja yang lebih banyak ketimbang sektor formal.
"Ini yang tidak digarap, makanya proteksi upah pun, hanya di ubek-ubek di upah minimum kabupaten dan kota. Upah diatas upah minimum belum (diperhatikan), upah di bawah upah minimum belum, alias UKM yang keliatan kerjanya ada 17 juta dibandingkan angakatan kerja kita sebanyak 43 juta baik formal maupun informal," paparnya.
Menurutnya, porsi UMKM yang saat ini ada sekitar 64 juga pengusaha menjadi peluang bagi pengerapan tenaga kerja. Dibandingkan porsi yang lebih sedikit di perusahaan besar atau menengah.
"Perguruan tinggi itu luar biasa totalitas, saat ini ada 8 juta yang saat ini sedang kuliah, tetapi penyerapannya (tenaga kerja) gak jauh dari 1 juta saja, sangat tidak sebanding," tegasnya.
Adi melihat, pembekalan kemampuan dasar tadi jadi penting agar bisa diserap oleh berbagai sektor ketenagakerjaan. Termasuk dalam hal ini menyeduaikan kebutuhan industri yang tengah berkembang.
"Nah inilah kembali lagi, seyogyanya perguruan tinggi itu harus membekali kemampuan dasar, dan juga harus juga menyesuaikan kebutuhan industri tadi," paparnya.
Sebagai salah satu upaya yang bisa ditempuh, menurut Adi, adalah memperluas pendidikan vokasi di kampus-kampus. Sehingga diharapkan bisa mengikuti perkembangan kebutuhan industri.
Dia mencontohkan sistem yang diterapkan industri manufaktur di Jerman, bagaimana pembangunan industrinya dilakukan lebih dulu, lalu, kurikulum pembelajarannya mengikuti. Berbeda dengan Indonesia, yang kurikulum pendidikannya lebih dulu dibuat, sehingga tidak selaras dengan perkembangan industri.
"Makanya semangatnya di pendidikan vokasi dan pelatihan vokasi adalah (porsinya) 30-70 persen. Harusnya teorinya hanya 30 persen saja, praktikalnya, under-project-nya 70 persen praktik industri, dan kami Kadin Indoniesa dan Hipmi saya yakni sangat mumpuni dan sangat bisa menularkan dosen atau guru praktikal itu," pungkas Adi Mahfudz.
Tak Sesuai Kualifikasi
Kamar Dagang dan Industri atau Kadin Indonesia menyebut mayoritas tenaga kerja di Indonesia yang diserap berada di bawah kualifikasi. Angkanya mencapai 52 persen dari total tenaga kerja di dalam negeri.
Salah satu Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia Sabda Putera Subekti mengungkap hal tersebut. Ini sekaligus berkaitan dengan tingkat kepuasan industri terhadap serapan tenaga kerja.
"Yang paling penting yang kita rasakan di industri ya, 52 persen pekerja di Indonesia itu underqualified (di bawah kualifikasi)," ujarnya dalam Rapat Panja Perguruan Tinggi Komisi X dengan Kadin Indonesia dan HIPMI, Selasa (17/1/2023).
"Jadi bukan hanya tingkat serapan sarjananya saja yang ktia cermati, tapi juga yang terserap pun, tingkat kepuasan industri terhadap sarjana itu belum mencapai tingkat kepuasan tertentu, belum sesuai harapan," sambung pria yang menjabat Chief Education Officer Zenius itu.
Sabda menyebut, kondisi tersebut yang kemudian secara tak langsung perlu diserap industri sebagai langkah penyerapan tenaga kerja. Dia lantas membeberkan sejumlah faktor yang mempengaruhi besarnya porsi tersebut.
Pertama, adalah minimnya masukan terhadap kurikulum dalam pendidikan yang dijalankan. Menurutnya ini jadi tanggung jawab semua pihak termasuk pelaku industri dan akademisi.
Sabda mengaku, setelah menjajaki para bidang sumber daya manusia (SDM) di industri, ada ketidakcocokan antara kebutuhan industri dan lulusan sekolah dan perguruan tinggi. Namun, posisinya bukan pada kemampuan teknikal.
"Apa masalahnya? bukan masalah technical skills aja, tapi yang sering saya dengar, bahwa yang kekurangan itu bukan teknikal skills langsung, tapi softskill atau fundamental skills," ungkapnya.
Faktor-Faktor
Dia mencontohkan, maksudnya adalah kemampuan berpikir calon pekerja. Sebagai contoh, rendahnya pola berpikir secara saintifik atau etos kerja yang dinilai kurang.
"Kalau pengalaman saya didalam perekrutan, misalnya, oke bisa (aplikasi) excel, menguasai alat, iya. Tapi mengambil data yang tepat, memilih data yang tepat, memfilter data yang tepat, begitu. Menguasai bahaasa programming-nya oke, tapi meracik software dengan bagus, itu yang kurang," kata dia mengisahkan.
Kedua, Sabda melihat adanya perkembangan industri yang lebih cepat ketimbang kurikulum di dunia pendidikan. Sehingga penyerapan tenaga kerja lagi-lagi tidak sesuai dengan perkembangan industri.
Sumber: Liputan6.com