Membangun kebijakan inklusif untuk pemulihan pasar tenaga kerja
Membangun kebijakan inklusif untuk pemulihan pasar tenaga kerja
Singapura - Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mencatat hilangnya 58 juta pekerjaan atau mencakup 3 persen penurunan di Asia Pasifik selama pandemi COVID-19 pada tahun 2019 hingga 2020. Ketenagakerjaan mulai pulih pada 2021 dan berlanjut hingga tahun ini di angka 2 persen.Namun, pemulihan belum usai sepenuhnya. ILO menyatakan bahwa Asia Pasifik masih kekurangan 22 juta pekerjaan pada 2022 dan kesenjangan pekerjaan sebesar 1,1 persen dibandingkan jika pandemi tidak terjadi.
Selain itu, Direktur Jenderal ILO, Gilbert Houngbo, dalam Pertemuan Regional ke-17 ILO Asia Pasifik menyebut bahwa pemulihan pasar tenaga kerja di kawasan masih belum inklusif dan justru berkontribusi pada semakin lebarnya ketimpangan sosial. Kebijakan yang lebih inklusif dan upaya bersama untuk memulihkan pasar tenaga kerja dengan perlindungan sosial dan perlindungan atas pekerjaan yang layak, tentu sangat diperlukan.
Menurut Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Bambang Brodjonegoro, terdapat dua cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
Pertama, melalui instrumen fiskal dengan memberikan bantuan sosial bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan atau diberhentikan. Tetapi, kata dia, pemberian bantuan tunai harus dibarengi dengan program pelatihan (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) untuk memastikan agar para penerima bantuan sosial siap kembali bekerja di sektor mana pun.
Kedua, pemerintah juga dapat menyediakan insentif pajak dan insentif fiskal untuk membantu perusahaan mengelola arus kas mereka sehingga memberhentikan karyawan bisa menjadi pilihan terakhir. Bambang juga menegaskan pentingnya pemerintah memastikan bahwa permintaan akan tenaga kerja tinggi dan stabil, serta inflasi dan harga pangan terkendali. Menerapkan kebijakan fiskal menjadi langkah yang diterapkan pemerintah Australia dalam merespons dampak pandemi COVID, yang memukul keras ekonomi dan industri di negara itu. Menteri Keterampilan dan Pelatihan Australia, Brendan O’Connor, mengatakan miliaran dolar telah diinvestasikan oleh negaranya untuk melindungi bisnis dan melindungi tenaga kerja. Intervensi pemerintah dalam bentuk stimulus fiskal diinvestasikan untuk inisiatif job keeper yang bertujuan mendukung para pemberi kerja untuk mempertahankan karyawan mereka alih-alih melakukan pemutusan hubungan kerja, serta job seeker yang secara efektif meningkatkan tunjangan jaminan sosial bagi pengangguran yang harus bertahan hidup selama pandemi. Namun, Brendan pun menilai bahwa kebijakan fiskal saja tidak akan berkelanjutan untuk menangani penurunan pasar kerja. Dengan tingkat pengangguran antara 3 sampai 4 persen saat ini, Australia tengah menghadapi kekurangan tenaga kerja dan keterampilan. Karena itu, Australia kini ingin lebih berinvestasi pada pendidikan tinggi dan pelatihan teknis di dalam negeri untuk para tenaga kerjanya. Canberra juga ingin menarik lebih banyak pekerja migran terampil ke Australia dengan membuka peluang yang luas bagi warga asing untuk bermigrasi dan menjadi bagian dari masyarakat dan ekonomi negara tersebut. Program pengiriman pekerja migran ke Australia disambut baik oleh Samoa, yang kesulitan memulihkan ekonominya dari dampak pandemi serta perubahan iklim. Menteri Perdagangan, Industri, dan Tenaga Kerja Samoa, Leatinu’U Wayne So’oialo, mengatakan dengan pembukaan perbatasan dengan Australia dan Selandia Baru pasca pandemi, Samoa dapat kembali melanjutkan ekspor tenaga kerja—yang merupakan salah satu kekuatan ekonomi negara tersebut. Pasalnya, dengan populasi sekitar 200.000 orang, pulau kecil di Pasifik itu hanya memiliki 20.000 tenaga kerja yang bekerja di pemerintahan dan sektor swasta. Dialog tripartit Salah satu strategi yang dipromosikan oleh ILO dalam mendukung inisiatif pemulihan yang inklusif, berkelanjutan, dan tangguh adalah melalui kerja sama antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja (tripartit). Melalui dialog sosial di antara ketiga mitra tersebut, negara-negara bisa mengatasi krisis ketenagakerjaan, seperti yang telah dilakukan Singapura. Presiden Singapura Halimah Yacob mengatakan bahwa dialog yang dilakukan di antara mitra tripartit berperan penting dalam membantu pemerintah Singapura mengarahkan dukungan keuangan secara tepat sasaran, dengan memperluas Jobs Support Scheme.
Skema itu diperkirakan telah membantu menyelamatkan atau menciptakan 165.000 pekerjaan, setara dengan 7 penduduk yang bekerja, rata-rata selama tahun 2020 dan 2021. Akibatnya, tingkat pengangguran tetap rendah.
Selain itu, para mitra tripartit mengoordinasikan pekerjaan dan peluang pelatihan melalui paket Pekerjaan dan Keterampilan SGUnited, yang membantu warga Singapura untuk mengakses pekerjaan dengan cepat dan mempelajari keterampilan baru untuk tetap bekerja. Tahun ini, Dewan Pengupahan Nasional tripartit mendorong agar upah pekerja berupah rendah
tumbuh lebih cepat, meskipun masih ada ketidakpastian ekonomi mengingat mereka paling terpengaruh oleh biaya hidup yang lebih tinggi.
Hal ini juga sejalan dengan komitmen komite tripartit untuk mengejar pertumbuhan inklusif di Singapura. Namun, kisah sukses Singapura tidak bisa dengan mudah diterapkan di negara lain. Perwakilan Dewan Serikat Pekerja Australia, Karen Batt, mengatakan penerapan dialog sosial yang nyata masih sangat lemah di kawasan Asia Pasifik, terutama di negara-negara yang belum sepenuhnya menjunjung tinggi demokrasi dan perdamaian.
Secara khusus dia menyoroti bagaimana Pasifik menjadi kawasan terburuk kedua di dunia, dalam hal pemenuhan hak-hak pekerja.
Di kawasan itu, hak-hak pekerja dilanggar dengan maraknya penggunaan kekerasan oleh polisi, pembungkaman serikat pekerja, bahkan penculikan dan pembunuhan di luar hukum terhadap pekerja, serikat pekerja, maupun aktivis HAM.
Karena itu, Karen menyerukan seluruh pemerintah di kawasan Asia Pasifik untuk memenuhi kewajibannya dalam menegakkan semua konvensi ILO, termasuk Konvensi 151 tentang perlindungan hak untuk berserikat dan tata cara menentukan kondisi pekerjaan dalam pelayanan publik.
Jalan panjang Asia Pasifik tampaknya masih harus menempuh jalan yang panjang menuju pemulihan yang berpusat pada manusia, dan inklusif serta berkelanjutan. Di tengah upaya untuk pulih dari krisis COVID-19, kawasan tersebut saat ini juga dihantam dengan kenaikan inflasi, gejolak geopolitik, perang di Ukraina—bahkan dibayang-bayangi ancaman resesi.
Namun, berbagai tantangan tersebut perlu disikapi dengan penciptaan inisiatif ekonomi baru yang memastikan perlindungan dan inklusivitas bagi para pekerja untuk membantu dunia pulih
sepenuhnya.
Mengutip pernyataan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese, orang-orang seharusnya tidak bekerja untuk ekonomi tetapi justru perekonomian yang perlu bekerja untuk rakyat.
Agenda kebijakan untuk pemulihan yang berpusat pada manusia memerlukan kontrak sosial baru dan penyusunan ulang aturan ekonomi untuk memastikan bahwa manusia menjadi pusat dari pemulihan ekonomi itu sendiri.
Penulis : Yashinta Difa Pramudyani