Pendekatan Kapabilitas-Vokasional dalam Isu Ketenagakerjaan
Pendekatan Kapabilitas-Vokasional dalam Isu Ketenagakerjaan
Jakarta - Kemiskinan yang diderita oleh warga suatu negara, kata Amartya Sen (2013) dalam Development as Freedom, sejatinya bukan karena rendahnya pendapatan negara itu, melainkan oleh ketiadaan kapabilitas warganya. Pendapatan negara tentu saja penting, namun yang lebih penting adalah meningkatkan kapabilitas warga agar mereka memiliki kebebasan dalam memilih serta meraih sesuatu.
Pengangguran —yang menurun drastis pada era pemerintahan Presiden Jokowi, namun menurut BPS per November 2022 masih dalam angka yang cukup fantastis, yakni 9,1 juta orang— disebabkan bukan oleh tiadanya kesempatan kerja, melainkan oleh tiadanya kebebasan bagi mereka untuk mengakses dunia kerja karena kapabilitas mereka yang rendah. Dengan kata lain, meningkatkan kapabilitas masyarakat melalui pendidikan-pelatihan akan memperbesar kebebasan mereka dalam mencapai kesejahteraan, dan pada akhirnya, akan "membantu" negara dalam memerangi problem pembangunan.
Oleh karenanya, menjadi penting terobosan yang dihasilkan dalam G20 Labour and Employment Ministers Meeting (LEMM) yang dihelat pada 14 September 2022 lalu. Forum ini, yang merupakan bagian dari program Presidensi G20 Indonesia bidang ketenagakerjaan, memformulasikan lima dokumen utama, salah satunya The G20 Policy Recommendations for Sustainable Growth and Productivity in Human Capacity Development through Strengthening Community-Based Vocational Training (CBVT).
Dokumen ini berisi kesepakatan para negara anggota G20 untuk meningkatkan kapasitas dan produktivitas sumber daya manusia (SDM) dengan menerapkan pembelajaran sepanjang hayat yang memperhatikan kebutuhan lokal dan partisipasi masyarakat inklusif melalui pelatihan vokasi berbasis masyarakat (Community-Based Vocational Training/CBVT).
Perlu dicatat bahwa CBVT ini merupakan program unggulan menjadi isu prioritas di pertemuan KTT G20 di Bali pada 15–16 November 2022. Ide ini diinspirasi oleh program Balai Latihan Kerja (BLK) Komunitas yang dikembangkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sejak 2017. BLK Komunitas merupakan unit pelatihan vokasi pada suatu komunitas di lembaga keagamaan non-pemerintahan (meliputi pondok pesantren, seminari, dhammasekha, pasraman, dan lembaga keagamaan non-pemerintah lainnya) dan komunitas serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Program ini, yang berbasis pelatihan vokasi yang inklusif dan berkelanjutan, digulirkan dengan tujuan bukan saja demi mengakselerasi peningkatan kompetensi SDM, melainkan juga mendorong agar BLK Komunitas turut berperan sebagai inkubator bisnis. Para lulusannya memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri, atau berwirausaha secara mandiri sesuai dengan potensi daerah setempat.
Sasaran BLK Komunitas adalah wilayah-wilayah yang belum terjangkau oleh lembaga pelatihan, baik lembaga pelatihan pemerintah maupun lembaga pelatihan swasta. Program pelatihan vokasi yang diselenggarakan di BLK Komunitas terdiri dari 23 kejuruan, di antaranya teknik otomotif, teknik konstruksi furniture dan kriya kayu, teknik informatika, multimedia, desain komunitas visual, pengolahan hasil pertanian, pengolahan hasil perikanan, dan lain-lain.
Menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, dari 2017 hingga Oktober 2022, Kemnaker telah dan akan membangun sebanyak 3.762 BLK Komunitas di seluruh Indonesia. Sebagai inkubator bisnis, melalui pelatihan vokasi, keberadaan BLK Komunitas diharapkan mampu memastikan tersedianya tenaga kerja berkualitas dengan keterampilan mumpuni yang mampu mengakses kerja layak sehingga dapat memperbaiki standar hidup yang lebih baik.
Bahkan, kalau perlu, program pelatihan vokasi ini terus diupayakan hingga mencapai target sebagaimana yang dicapai oleh Swiss. Sistem pendidikan vokasi Swiss kini menjadi percontohan dunia karena angka pengangguran lulusan pendidikan vokasi menjadi yang terendah dibandingkan lulusan sekolah dan perguruan tinggi. Lulusan vokasi di Swiss sangat mudah terserap oleh industri, bahkan menjadi yang paling diminta dan paling memenuhi persyaratan dunia industri.
Mereka mendapatkan gaji yang setara dengan para lulusan akademik, dan merekalah yang justru paling banyak dilibatkan dalam proyek-proyek industri. Kesuksesan ini tercipta berkat kerja sama yang baik dan kuat antara pemerintah pusat dan daerah, institusi pendidikan, serta asosiasi industri. Pihak kementerian, pemerintah pusat maupun daerah, dan penyelenggara lembaga vokasi terlibat penuh dalam menghubungkan lembaga vokasi dengan industri.
Melalui hubungan ini, lembaga vokasi dan industri akan saling mendapatkan manfaat. Industri memberikan kesempatan magang kepada pengajar dan siswa vokasi sehingga, di satu sisi, tenaga pengajar bisa mendapatkan pengalaman untuk mereka ajarkan (karena tenaga pengajar vokasi diwajibkan memiliki pengalaman bertahun-tahun di ranah yang mereka ajarkan), dan di sisi lain, industri —yang di Swiss tidak terlalu mementingkan gelar— akan mendapatkan tenaga kerja yang memenuhi kualifikasi praktis yang tinggi serta lebih mudah dalam melakukan perekrutan karyawan.
Secara bisnis, mempekerjakan tenaga kerja berkualitas akan membantu industri mencapai profit yang besar. Di luar regulasi dan sistem yang dijalankan, pendekatan yang digunakan oleh pendidikan vokasi di Swiss adalah "pendekatan kapabilitas". Menurut pendekatan ini, peningkatan kapabilitas manusia merupakan tujuan utama pembangunan tidak sebagaimana "pendekatan pendapatan" yang menempatkan manusia sebagai sarana pembangunan.
Pemerintah tidak bekerja untuk masyarakat (masyarakat dijadikan objek pembangunan), melainkan memberikan pelayanan kepada masyarakat agar masyarakat memiliki ruang yang luas dan kebebasan yang besar untuk meningkatkan kapabilitas mereka sendiri (masyarakat menjadi subjek pembangunan).
Dalam pengertian yang lebih spesifik, pengentasan kemiskinan tidak ditakar secara empiris dari pemenuhan kebutuhan dasar, melainkan ditakar dalam perubahan yang mencakup seluruh sistem sosial, termasuk politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan, teknologi, kelembagaan, dan budaya sedemikian hingga semua ini memberi jaminan akan peningkatan kapabilitas individu serta kebebasan mereka untuk menggapai sesuatu.
Harapan besarnya, dokumen CBVT tidak dilaksanakan dengan pendekatan pendapatan, melainkan dengan pendekatan kapabilitas. Kepuasan atas hasil penyelenggaraan CBVT bukan lagi diindikasikan oleh mengikisnya tingkat pengangguran, menyusutnya jumlah kemiskinan, atau kian sejahteranya taraf hidup para lulusan CBVT, melainkan oleh meningkatnya kapabilitas baik tenaga pengajar maupun lulusan CBVT sampai mencapai target di mana industri lebih membutuhkan tenaga mereka di tengah persaingan pasar kerja lulusan sekolah dan perguruan tinggi.
Sumber: Widi Wijanarko Koordinator Bidang Peningkatan Jejaring dan Uji Coba Model Perluasan Kesempatan Kerja, Balai Besar Perluasan Kesempatan Kerja Bandung Barat, Kemnaker