PHK Akibat Mangkir
PHK Akibat Mangkir
PHK dengan kualifikasi mengundurkan diri berdasarkan Pasal 168 UU Ketenagakerjaan hanya bisa dilakukan setelah lewat tenggang waktu 3 hari setelah pemanggilan kedua sebagaimana ketentuan tenggang waktu antara pemanggilan pertama dan kedua
PHK Akibat Mangkir
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”).
Namun, UU Ketenagakerjaan juga mengakui bahwa dalam kasus-kasus tertentu, hubungan kerja tidak dapat dipertahankan lagi.
Hal ini sebagaimana ditekankan Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, bahwa jika segala upaya pencegahan PHK telah dilakukan dan perundingan juga tidak menghasilkan persetujuan, maka pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh sepanjang telah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Kemudian, Pasal 168 ayat (1) UU Ketenagakerjaan juga menerangkan:
Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
Yang dimaksud “pemanggilan secara patut” adalah pekerja/buruh telah dipanggil secara tertulis yang ditujukan pada alamat pekerja/buruh sebagaimana tercatat di perusahaan berdasarkan laporan pekerja/buruh. Tenggang waktu antara pemanggilan pertama dan kedua paling sedikit 3 hari kerja.
UU Ketenagakerjaan menjelaskan tenggang waktu antara pemanggilan pertama dan kedua, namun tidak mengatur kapan PHK akibat pengunduran diri dianggap telah terjadi.
kualifikasi pengunduran diri akibat mangkir terpenuhi segera setelah pekerja yang mangkir tidak memenuhi pemanggilan kedua, dan tidak perlu menunggu hingga 3 hari
Penafsiran terhadap ketentuan Pasal 168 UU Ketenagakerjaan tersebut harus dilakukan berdasarkan prinsip iktikad baik yang wajib ditunjukkan masing-masing pihak.
Dalam konteks pekerja yang mangkir, lazimnya kewajiban pekerja adalah untuk bekerja, dan apabila ia berhalangan untuk masuk kerja, ia harus menunjukkan iktikad baik dengan memberitahukan penyebab ketidakhadirannya.
Apabila ia dipanggil dan menerima pemanggilan tersebut, ia harus menunjukkan iktikad baik dengan menjawab pemanggilan pertama, dan tidak menunggu sampai dengan pemanggilan kedua.
ehingga, apabila si pekerja tidak menunjukkan iktikad baiknya dengan tidak memberikan respon atau memberikan alasan yang dapat diterima setelah menerima pemanggilan pertama, syarat formil tenggang waktu 3 hari antara pemanggilan pertama dan kedua tidak pula harus dipenuhi.
Artinya, pemanggilan kedua bisa saja dilakukan 2 hari setelah pemanggilan pertama, karena apabila mengikuti syarat formil tersebut dalam Penjelasan Pasal 168 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pekerja yang mangkir dapat mencari alasan mengenai tidak sahnya pemanggilan yang dilakukan oleh perusahaan, misalnya dengan beralasan tidak ada tenggang waktu 3 hari antara pemanggilan pertama dan kedua. Padahal, pekerja tersebut sudah tidak menunjukkan iktikad baiknya sejak awal.
Contoh, seorang pekerja tidak masuk kerja selama 3 hari berturut-turut tanpa memberikan keterangan apapun. Kemudian di hari ketiga, perusahaan mengirimkan surat pemanggilan untuk hadir di hari ke-4 dan surat tersebut sudah ia terima di hari yang sama.
Namun, pekerja tersebut tidak hadir di hari ke-4 dan tidak pula memberi kabar. Perusahaan lalu mengirimkan surat pemanggilan kedua di hari ke-4 untuk hadir di hari ke-5 dan suratnya sudah diterima oleh si pekerja.
Apabila ia tetap tidak hadir di hari ke-5 tanpa memberikan alasan, maka PHK dengan kualifikasi mengundurkan diri akibat mangkir dapat dilakukan langsung di hari ke-6.
Contoh Kasus
Sebagai contoh yang patut diperhatikan, kami merujuk pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang Nomor 7/G/2011/PHI.PN.TPI.
Dalam putusan tersebut diterangkan bahwa Penggugat bekerja di tempat Tergugat sejak 21 Oktober 2009 dengan status perjanjian kerja waktu tertentu. Namun, Tergugat melakukan PHK kepada Penggugat dengan alasan Penggugat telah mangkir dari tanggal 12 – 17 Februari 2010 (hal. 12).
Tergugat menyampaikan bahwa PHK dilakukan karena Penggugat tidak hadir bekerja tanpa pemberitahuan yang sah secara berturut-turut dari tanggal 12 – 17 Februari 2010 dan Tergugat telah melakukan upaya menelepon nomor Penggugat, namun ponselnya tidak aktif dan tidak dapat dihubungi serta telah memberikan 2 surat pemanggilan, tapi pada hari kerja ke-6, tanggal 19 Februari 2010, Penggugat tidak kunjung hadir bekerja, maka sesuai Pasal 168 UU Ketenagakerjaan, hal tersebut dapat dikatakan sebagai mangkir (hal. 12).
Namun, diketahui dalam persidangan bahwa alasan Penggugat tidak hadir adalah karena sedang sakit dan surat sakit tersebut baru diterima Tergugat 23 Februari 2010 dan menurut Majelis Hakim perbuatan Penggugat sudah memenuhi kaidah peraturan perundang-undangan yang berlaku dan senyata-nyatanya Penggugat tidak hadir karena sakit (hal. 14).
Maka, PHK yang terjadi antara Penggugat dan Tergugat bukanlah akibat Penggugat mangkir, namun karena di-PHK Tergugat (hal. 14).
Dalam putusannya, Majelis Hakim menerima gugatan Penggugat untuk sebagian dan memerintahkan kepada Tergugat untuk membayar sisa kontrak Penggugat sebesar Rp8.360.000,00 serta menyatakan bahwa hubungan kerja Penggugat dengan Tergugat telah selesai (hal. 15).
Berdasarkan contoh kasus di atas, maka ketidakhadiran pekerja/buruh, meski pada awalnya tanpa keterangan, tidak dapat serta merta dipandang sebagai mangkir, karena keterangan ketidakhadiran pekerja/buruh bisa disampaikan bahkan setelah pekerja/buruh tidak memenuhi surat pemanggilan kedua.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Putusan:
Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang Nomor 7/G/2011/PHI.PN.TPI.
Juanda Pangaribuan, seorang praktisi hukum hubungan industrial & Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2006 – 2016