Masalah Ketenagakerjaan Makin Kompleks Akibat Pandemi, UU Cipta Kerja Diharapkan Jadi Terobosan
Masalah Ketenagakerjaan Makin Kompleks Akibat Pandemi, UU Cipta Kerja Diharapkan Jadi Terobosan
Keberadaan UU Cipta Kerja diharapkan bisa mengurai kompleksitas persoalan ketenagakerjaan di tanah air. Pandemi Covid-19 pun menjadi momentum untuk melakukan pembenahan dan penataan ulang atas berbagai persoalan di sektor ekonomi sehingga Indonesia tak kehilangan momentum untuk bangkit pascapandemi.
UU Cipta Kerja juga dirancang untuk menjadi solusi bagi persoalan fundamental yang menghambat transformasi ekonomi nasional, seperti obesitas regulasi, rendahnya daya saing, dan terus meningkatnya angkatan kerja yang membutuhkan lapangan kerja baru. Jika sudah disahkan menjadi undang-undang dan berlaku efektif, UU Cipta Kerja diharapkan bisa memberikan kepastian dan kecepatan perizinan investasi, serta adanya kepastian hukum.
Pemerintah menargetkan keberadaan UU Cipta Kerja bisa menjadi jalan bagi perbaikan drastis struktur ekonomi nasional sehingga bisa meraup angka pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,7% hingga 6%, yakni dengan: Penciptaan Lapangan Kerja sebanyak 2,7 s.d. 3 juta/tahun (meningkat dari saat ini 2 juta/tahun), untuk menampung 9,29 juta orang yang tidak/belum bekerja (7,05 juta pengangguran dan 2,24 jutaAngkatan Kerja Baru).
Peningkatan kompetensi pencari kerja dan kesejahteraan pekerja.
Peningkatan Produktivitas Pekerja, yang berpengaruh pada peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Produktivitas Indonesia (74,4%) masih berada di bawah rata-rata negara ASEAN (78,2%).
Peningkatan Investasi sebesar 6,6% s.d. 7,0%, untuk membangun usaha baru atau mengembangkan usaha existing yang akan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan pekerja sehingga akan mendorong Peningkatan Konsumsi (5,4% s.d. 5,6%).
Pemberdayaan UMKM dan Koperasi, yang mendukung peningkatan kontribusi UMKM terhadap PDB menjadi 65% dan peningkatan kontribusi Koperasi terhadap PDB menjadi 5,5%. Tanpa pembenahan mendasar struktur ekonomi nasional yang dilakukan melalui RUU Cipta Kerja, risikorisiko yang mengancam ekonomi Indonesia di masa mendatang meliputi: (i) Lapangan kerja akan pindah ke negara lain yang lebih kompetitif, (ii) Daya saing pencari kerja relatif rendah dibanding negara lain, (iii) Penduduk yang Tidak/Belum Bekerja akan semakin tinggi, dan (iv) Indonesia terjebak dalam middle income trap.
Sebagai informasi, jumlah angkatan kerja Indonesia menurut data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2020, tercatat sebanyak 137,91 juta orang. Dari jumlah itu, yang terserap lapangan kerja sebanyak
131,01 juta orang sementara 6,88 juta lainnya masih menganggur. Dari jumlah yang bekerja pun, 39,44 juta di antaranya merupakan pekerja paruh waktu dan setengah menganggur. Artinya, jumlah pengangguran dan angkatan kerja yang bukan pekerja penuh seluruhnya mencapai 46,32 juta. Kondisi pandemi Covid-19 membuat masalah ketenagakerjaan makin kompleks, karena total ada 3,06 juta pekerja yang terdampak. Dari jumlah pekerja yang terdampak pandemi, 1,44 juta di antara berstatus terkena PHK atau dirumahkan.
Biaya investasi di Indonesia pun terbilang mahal dan kurang kompetitif dibandingkan negara tetangga. Hal ini didasarkan pada ICOR (Incremental Capital Output Ratio), yakni perbandingan atau rasio antara tambahan investasi yang dibutuhkan, untuk menghasilan setiap satu unit output. ICOR Indonesia pada 2019 sebesar 6,77%, lebih buruk dari 2018 yang di posisi 6,44%. Sementara negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam punya ICOR di posisi ideal yakni 3%.
Selain ICOR yang tidak kompetitif, regulasi Indonesia juga terbilang rumit sehingga menjadi penghambat investasi. Hal ini terjadi baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah. Dua hal tersebut menjadi penghambat investasi yang bersifat padat modal. Sedangkan investasi yang bersifat padat karya, lebih terkendala lagi oleh masalah ketenagakerjaan.
Salah satunya karena besarnya standar upah minimum Indonesia dibandingkan negara lain, serta mahalnya biaya pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja. Secara rerata, upah minimum di Indonesia ada di kisaran USD 170, lebih mahal daripada Vietnam yang di kisaran USD 150 per bulan. Bahkan rerata upah minimun di India dan Bangladesh, masing-masing di kisaran USD 100 per bulan.
Demikian juga dengan jumlah pesangon yang dibayarkan, secara rerata di Indonesia mencapai 52 minggu. Jauh lebih mahal daripada negara peer-nya seperti Thailand (32 minggu), Vietnam (25 minggu), Filipina (23 minggu), dan Malaysia (17 minggu). Pada saat yang sama, mahalnya biaya tenaga kerja tidak diimbangi oleh kemampuan tenaga kerja untuk mengadopsi teknologi dalam proses produksi di perusahaan. Padahal hal ini menjadi tren global dengan berkembangnya otomasi dan industri 4.0, termasuk kelak pasca pandemi berakhir.
Sumber: Humas Kemnaker 2022